Ketika Hidup Haus Pujian

Ada yang tak kasat mata tapi nyata merusak jiwa: ketergantungan pada pujian manusia. Pujian memang manis, ia seperti madu yang menetes di lidah, tapi jika terlalu sering dicicip, ia menjelma racun yang membuat hati lemah.

Kita hidup di zaman di mana manusia saling berlomba untuk terlihat lebih indah, lebih kaya, lebih bijak, lebih bahagia. Seakan-akan hidup bukan lagi tentang menjadi, melainkan tentang dipandang.

Bahkan kebaikan pun kadang bukan lagi untuk Allah, melainkan agar manusia berkata: “Engkau baik, engkau hebat, engkau luar biasa.”

Namun, pujian manusia itu fana. Hari ini kita dipuji, besok kita bisa dicaci. Hari ini diagungkan, esok dilupakan. Maka hati yang bergantung pada pujian ibarat kapal yang layarnya dikendalikan angin orang lain—tak punya arah pasti, mudah goyah, dan terseret ke mana saja.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa bermegah-megahan melalaikan, hingga manusia lupa hakikat hidup adalah perjalanan menuju kubur. Sedangkan Rasulullah ﷺ mengajarkan kita doa agar selamat dari penyakit hati ini:

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai tujuan utama kami, dan jangan pula sebagai puncak ilmu kami.”

Bahagia sejati bukan ketika manusia ramai bertepuk tangan, tapi saat hati tenang karena Allah ridha. Nilai kita tidak ditentukan oleh pujian mereka, melainkan oleh pandangan Allah terhadap amal kita.

Maka jangan biarkan hidup habis hanya untuk mencari sorak-sorai manusia. Biarlah dunia bertepuk tangan pada yang lain, asal kita tetap teguh berjalan menuju Allah, karena ridha-Nya lebih indah dari segala pujian.

Komentar

Postingan Populer