6/06/25

Refleksi Idul Adha: Meneladani Nabi Ibrahim, Kekasih Allah

Setiap tahunnya, umat Islam merayakan Idul Adha sebagai momen besar penuh makna. Di balik penyembelihan hewan qurban, tersimpan pelajaran spiritual yang mendalam dari seorang hamba pilihan: Nabi Ibrahim AS, sang Khalilullah (Kekasih Allah). Kisah beliau bukan sekadar sejarah, melainkan cermin untuk menilai kembali hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan dunia.

Ketaatan Tanpa Tawar

Nabi Ibrahim menerima perintah yang amat berat: menyembelih putranya sendiri, Ismail. Namun yang mengejutkan adalah tidak ada perlawanan dalam diri Ibrahim. Tidak ada pertanyaan, tidak ada penundaan. Ia tunduk sepenuhnya pada perintah Allah.

"Tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.'" – (QS. As-Saffat: 102).

Di sinilah letak keagungan Ibrahim: ketaatan mutlak tanpa syarat. Betapa kita sering kali menunda-nunda, menawar-nawar perintah Allah, atau bahkan mencari-cari alasan agar tidak melaksanakannya.

Pengorbanan yang Tulus

Apa yang lebih dicintai oleh seorang ayah daripada anaknya yang telah lama dinanti? Namun demi cinta yang lebih tinggi – cinta kepada Allah – Ibrahim siap mengorbankannya. Dan yang luar biasa, Ismail pun tidak lari dari perintah itu.

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yadiperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." –(QS. As-Saffat: 102)

Ini adalah pelajaran besar tentang keikhlasan. Dalam hidup, ada banyak hal yang kita cintai: harta, jabatan, waktu, kenyamanan. Tapi Idul Adha mengingatkan: apakah kita siap mengorbankan itu semua jika Allah meminta?

Keikhlasan Tanpa Pamrih

Ketaatan Ibrahim tidak dilandasi ambisi dunia. Ia tak mengharapkan imbalan, pujian, atau pengakuan. Semuanya dilakukan karena cinta dan tunduk kepada Rabb-nya.

Allah menguji, dan Ibrahim lulus. Maka Allah mengganti pengorbanan itu dengan sembelihan agung, sebagai bukti bahwa keikhlasan tidak pernah sia-sia.

"Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." –(QS. As-Saffat: 107).

Tawakal yang Mendalam

Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan keyakinan penuh bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan. Nabi Ibrahim tidak tahu bagaimana akhir kisahnya. Tapi ia yakin: Allah Maha Bijaksana.

Tawakal seperti inilah yang harus kita bangun: berani mengambil langkah karena percaya kepada janji Allah, bukan karena sudah tahu hasilnya.

Pendidikan Iman dalam Keluarga

Satu aspek yang kerap luput dari perhatian adalah bagaimana Nabi Ibrahim berhasil mendidik Ismail menjadi anak yang taat dan sabar. Pendidikan iman ini bukan dibangun dalam semalam, tapi melalui keteladanan, komunikasi, dan doa yang panjang.

"Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat." –(QS. Ibrahim: 40)

Idul Adha menjadi momen yang tepat bagi kita untuk kembali bertanya: Sudahkah kita membina keluarga dalam bingkai iman dan ketaatan kepada Allah?

Menjadi Kekasih Allah di Zaman Ini

Kisah Ibrahim bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah peta jalan spiritual bagi kita semua. Di tengah dunia yang penuh dengan ego, kesibukan, dan cinta pada dunia, kita ditantang untuk meneladani Ibrahim: berani taat, ikhlas berkorban, dan yakin kepada Allah.

Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi menyembelih ego, mengorbankan hawa nafsu, dan menumbuhkan cinta kepada Allah.

Semoga kita bisa menjadi kekasih Allah, sebagaimana Ibrahim dicintai-Nya. Aamiin.

6/05/25

Liburan ke Floating Market Bandung

Malam Rabu, istri mulai menyiapkan segala kebutuhan kami: pakaian, alat mandi, hingga obat-obatan. Ia tampak sangat senang, karena tahun ini ada acara liburan dari kantornya. Saya hanya membantu sesekali, lebih banyak mengamati sambil menikmati suasana. Anak pertama kami begitu antusias, seperti biasa—karena setiap tahun memang selalu ada acara "family gathering". Namun, tahun ini sedikit berbeda. Kata istri, tujuan liburannya ke Bandung, tepatnya ke Floating Market. Selebihnya, saya tidak tahu. Ya, kami ikut saja—mumpung dapat liburan gratis!

Kami bangun pukul 04.00. Anak-anak sudah tak sabar, apalagi mereka sudah menunggu momen ini selama setahun. Adik Shanum justru bangun paling duluan. Ini adalah kali ketiganya ikut liburan keluarga, jadi dia sangat bersemangat. Semua persiapan selesai pukul 05.00, dan kami segera memesan kendaraan daring untuk menuju titik kumpul yang telah ditentukan. Rencananya, kami akan berangkat dengan bus pukul 06.30. Namun seperti biasa, beberapa anggota rombongan datang terlambat, sehingga keberangkatan agak mundur.

Perjalanan menuju Bandung memakan waktu sekitar lima jam karena libur panjang membuat lalu lintas sangat padat. Bahkan kami sempat keluar tol untuk menghindari kemacetan yang luar biasa. Akhirnya, kami tiba di Floating Market. Anak-anak terlihat senang bukan main. Karena perut mulai keroncongan, kami mencari tempat makan terlebih dahulu. Setelah makan siang, barulah kami berkeliling area Floating Market. Kakak bermain di taman kelinci, sementara adik memilih wahana permainan anak-anak. Melihat mereka tertawa dan bermain lepas, rasanya lelah terbayar lunas.

Menjelang sore, kami mulai bersiap menuju cottage Daarut Jannah untuk beristirahat. Hari yang panjang ditutup dengan suasana tenang di penginapan, membantu kami melepas lelah.

Hari ketiga, kami bersiap kembali ke Serang setelah menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan, termasuk kunjungan dan aktivitas di Daarut Tauhiid. Pukul 08.00 pagi, kami berangkat pulang. Di perjalanan, kami menikmati waktu bersama dengan bersantai dan mengenang keseruan beberapa hari terakhir. Meski lelah, hati kami senang—karena momen kebersamaan seperti ini selalu terasa istimewa.


6/02/25

Harapan 10 Tahun ke Depan 

(Usia 40 menuju 50)

Aku tidak tahu persis akan seperti apa hidup sepuluh tahun ke depan. Tapi aku tahu bagaimana aku ingin menjalaninya:

  1. Aku ingin tetap sehat, bukan sekadar hidup, tapi hidup yang bertenaga dan sadar. 
  2. Aku ingin lebih sederhana dalam keinginan, tapi lebih dalam dalam makna. 
  3. Aku ingin bisa tersenyum tulus saat menengok ke belakang, bukan karena semuanya berjalan sempurna, tapi karena aku hidup dengan niat baik. 
  4. Aku ingin memaafkan lebih cepat, mencintai lebih pelan, dan bersyukur lebih dalam. Aku ingin tidak terlalu sibuk mengejar hidup, sampai lupa untuk benar-benar menjalaninya. 

Jika Tuhan memberi usia sampai 50, aku ingin sampai ke sana sebagai pribadi yang lebih tenang, lebih ringan, lebih bijak, dan tetap punya semangat untuk belajar.

Doa Pribadi 

Ya Allah,

Di usia yang telah Kau percayakan ini, bimbing aku agar tidak hanya menjadi tua, tetapi juga menjadi dewasa.

Lembutkan hatiku agar tak cepat marah. Kuatkan tubuhku agar bisa tetap menolong. Lapangkan pikiranku agar bisa menerima perbedaan. Dan terangilah langkahku agar tidak sesat dalam kesibukan yang sia-sia.

Ajarkan aku mencintai tanpa menggenggam. Memberi tanpa berharap balasan. Dan menjalani hidup dengan ringan, namun tidak lalai.

Jadikan sisa usiaku berkah, walau mungkin tidak panjang. Dan jika tiba waktuku pulang, biarlah aku pulang dalam keadaan damai— karena telah hidup sepenuh hati.

Aamiin.

6/01/25

Surat untuk Diriku di Usia 40

Untuk diriku yang hari ini genap 40 tahun, Selamat ulang tahun. Aku tahu, perjalanan ke sini tidak selalu mudah. Banyak hal yang harus dilewati—beberapa membekas sebagai luka, beberapa mengukir senyum hangat dalam kenangan. Tapi hari ini, aku ingin berhenti sejenak. Bukan untuk menyesali yang belum tercapai, tapi untuk mengapresiasi sejauh mana aku telah berjalan.

Empat puluh tahun. Angka yang dulu terdengar seperti "nanti", kini telah menjadi "hari ini". Aku tidak lagi mengejar banyak hal karena takut tertinggal, tapi mulai memilih hal-hal yang benar-benar berarti. Di titik ini, aku belajar bahwa kebahagiaan bukan soal seberapa tinggi aku mendaki, tapi seberapa dalam aku memahami diriku sendiri.

Aku ingin jujur padamu: kadang aku merasa terlambat. Ada mimpi yang belum tergapai, ada bagian dari diriku yang belum sepenuhnya hidup. Tapi hari ini aku mengingatkan diriku: belum terlambat untuk mulai, belum terlambat untuk berubah, belum terlambat untuk hidup dengan utuh. Empat puluh bukan akhir, ini awal dari kehidupan yang lebih sadar.

Terima kasih, tubuhku, yang tetap berdiri tegak meski telah menanggung banyak beban.
Terima kasih, hatiku, yang tetap lembut meski sering terluka.
Terima kasih, pikiranku, yang terus tumbuh dan belajar, bahkan saat dunia terasa bising.
Aku janji, mulai hari ini, aku akan lebih menghargai waktu. Bukan karena takut kehabisan, tapi karena aku akhirnya sadar bahwa waktu adalah anugerah, bukan tekanan. Aku akan lebih mencintai, lebih hadir, lebih tenang.

Dan kalau suatu hari nanti aku lupa semua ini, semoga surat ini bisa jadi pengingat untukku.

Selamat ulang tahun, diriku. Mari jalani usia 40 dengan berani, lembut, dan penuh makna.

Dengan cinta dan hormat
– Yogi Purnama