Catatan Pribadi: Lelah Menonton Drama Politik

Entah kenapa, setiap kali melihat drama politik, rasanya seperti menonton sandiwara lama yang diputar ulang. Aktornya berganti wajah, tapi naskahnya tetap sama. Saat berkuasa mereka diam, kenyang, dan seolah tuli pada suara rakyat. Begitu kehilangan kursi, mereka berisik, pura-pura peduli, lalu mengaku paling membela.

Yang bikin saya lebih heran, sebagian rakyat ikut larut dalam drama itu. Mereka ribut di warung kopi, debat di media sosial, bahkan sampai retak hubungan keluarga. Padahal yang mereka bela, para politisi itu, seringkali justru bisa duduk bersama di meja makan, saling senyum, saling rangkul, lalu membuat kesepakatan baru. Ironis sekali: rakyat masih sibuk bertengkar, sedangkan mereka sudah saling berpelukan demi kepentingan.

Kadang saya hanya geleng-geleng kepala. Untuk apa? Apa rakyat dapat bagian? Tidak. Politisi naik jabatan, rakyat naik tensi. Politisi kenyang, rakyat yang ikut-ikutan malah lelah. Dan anehnya, banyak yang bangga jadi barisan teriak gratis, merasa sedang berjuang, padahal hanya jadi figuran di panggung yang bukan miliknya.

Mungkin inilah kenyataan pahit yang harus diakui: drama politik tidak akan berhenti. Aktornya berganti, tapi lakonnya tetap. Berisik ketika lapar, diam ketika kenyang, pura-pura peduli demi simpati. Sementara sebagian rakyat dengan sukarela tetap jadi penonton setia—bahkan ada yang rela menjadi badut tambahan.

Dan saya? Jujur saja, sudah malas ikut larut. Lebih baik menjaga kewarasan, fokus pada hidup sendiri, daripada habis energi menonton drama yang naskahnya sudah bisa ditebak sejak awal.

Komentar