Saat Peran Mulai Bergeser: Siapa yang Kehilangan?
Dunia terus berubah. Namun dalam derasnya arus modernisasi, ada yang mulai bergeser pelan-pelan—tanpa kita sadari. Tugas laki-laki perlahan diambil alih oleh perempuan. Perempuan pun akhirnya terbebani dua hal: menjadi ibu dan juga pencari nafkah. Sementara itu, peran perempuan dalam rumah tangga sering kali dianggap selesai setelah melahirkan. Lalu siapa yang membesarkan anak? Pengasuh.
Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih hebat. Tapi tentang bagaimana sebuah keluarga bisa kehilangan arah ketika peran-peran utama dalam rumah tangga mulai kabur batasnya.
Laki-laki yang dulu menjadi pemimpin, pelindung, dan pencari nafkah, kini tak sedikit yang merasa tersingkir. Peran utamanya digantikan. Dan ketika ia kehilangan peran, ia juga kehilangan jati diri. Saat itulah keluarga kehilangan nahkoda.
Di sisi lain, perempuan yang mestinya punya waktu lebih banyak untuk mendidik, membimbing, dan mengasuh anak sejak kecil, kini didorong oleh kebutuhan atau gaya hidup untuk ikut bekerja. Akhirnya, anak pun lebih banyak diasuh oleh orang lain yang tak selalu paham nilai dan arah yang diinginkan orang tua.
Ini bukan soal menyalahkan siapa-siapa. Tapi soal merenungkan: apakah kita sedang membangun masa depan keluarga yang kuat, atau justru melemahkan fondasinya tanpa sadar?
Bukan berarti perempuan tak boleh bekerja, atau laki-laki tak boleh membantu di rumah. Justru kerja sama dalam keluarga adalah hal yang indah. Tapi jangan sampai kita terjebak pada kondisi di mana semua hal bergeser tanpa arah. Laki-laki butuh kembali pada jati dirinya sebagai pemimpin keluarga. Perempuan pun perlu disadarkan betapa berharganya peran mereka dalam membentuk generasi.
Anak bukan sekadar dititipkan. Ia butuh sentuhan hati. Butuh keteladanan. Dan itu semua tidak bisa dibeli atau diganti oleh pengasuh.
Mari kembali menata peran. Bukan untuk membatasi, tapi untuk menyeimbangkan. Karena dari keluarga yang seimbang, lahir generasi yang kuat, berakhlak, dan siap menghadapi dunia.
Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih hebat. Tapi tentang bagaimana sebuah keluarga bisa kehilangan arah ketika peran-peran utama dalam rumah tangga mulai kabur batasnya.
Laki-laki yang dulu menjadi pemimpin, pelindung, dan pencari nafkah, kini tak sedikit yang merasa tersingkir. Peran utamanya digantikan. Dan ketika ia kehilangan peran, ia juga kehilangan jati diri. Saat itulah keluarga kehilangan nahkoda.
Di sisi lain, perempuan yang mestinya punya waktu lebih banyak untuk mendidik, membimbing, dan mengasuh anak sejak kecil, kini didorong oleh kebutuhan atau gaya hidup untuk ikut bekerja. Akhirnya, anak pun lebih banyak diasuh oleh orang lain yang tak selalu paham nilai dan arah yang diinginkan orang tua.
Ini bukan soal menyalahkan siapa-siapa. Tapi soal merenungkan: apakah kita sedang membangun masa depan keluarga yang kuat, atau justru melemahkan fondasinya tanpa sadar?
Bukan berarti perempuan tak boleh bekerja, atau laki-laki tak boleh membantu di rumah. Justru kerja sama dalam keluarga adalah hal yang indah. Tapi jangan sampai kita terjebak pada kondisi di mana semua hal bergeser tanpa arah. Laki-laki butuh kembali pada jati dirinya sebagai pemimpin keluarga. Perempuan pun perlu disadarkan betapa berharganya peran mereka dalam membentuk generasi.
Anak bukan sekadar dititipkan. Ia butuh sentuhan hati. Butuh keteladanan. Dan itu semua tidak bisa dibeli atau diganti oleh pengasuh.
Mari kembali menata peran. Bukan untuk membatasi, tapi untuk menyeimbangkan. Karena dari keluarga yang seimbang, lahir generasi yang kuat, berakhlak, dan siap menghadapi dunia.
Komentar
Posting Komentar