Melihat Diri Lewat Mata Orang Lain

Saat saya sedang menjalani proses tugas akhir kuliah, seperti mahasiswa pada umumnya, saya merasa tulisan skripsi saya sudah cukup baik. Saya yakin dengan struktur tulisan, isinya, dan cara penyampaiannya. Namun, ketika saya membawa draft awal itu ke dosen pembimbing, beliau memberikan saran sederhana tapi sangat bermakna:

"Cobalah jangan langsung bawa ke saya. Kasih dulu ke teman kamu yang bisa dipercaya untuk baca. Biasanya orang lain bisa menemukan kesalahan yang tidak kamu sadari sendiri."

Saya sempat ragu, tapi akhirnya saya ikuti saran itu. Saya minta teman dekat saya untuk membaca dan memberi masukan. Hasilnya? Ternyata ada banyak kekeliruan kecil yang saya lewatkan — mulai dari typo, struktur kalimat yang kurang jelas, sampai logika penulisan yang loncat-loncat.

Masukan itu sangat membantu. Ketika saya kembali bimbingan, naskah saya sudah jauh lebih siap. Memang, masih ada revisi dan saya sempat diminta mengganti judul, tapi proses bimbingan jadi lebih lancar. Saya lebih terbuka dan lebih siap menerima arahan.

Dari pengalaman itu, saya merenung dan menarik pelajaran yang penting: Kita sering kali tidak bisa melihat kekurangan diri sendiri. Kita butuh cermin, dan cermin terbaik adalah sudut pandang orang lain.

Dalam banyak hal, bukan hanya dalam menulis, kita sering merasa sudah melakukan yang terbaik. Tapi sering kali, ada celah, kekeliruan, bahkan potensi yang belum tergali — yang hanya bisa dilihat dari luar diri kita.

Karena itu, jangan alergi pada kritik, apalagi jika datang dari orang yang peduli. Kadang kritik bukan berarti menjatuhkan, tapi justru menjadi undangan untuk memperbaiki diri. Bisa jadi, kritik adalah jalan menuju versi diri kita yang lebih baik.

Penutup

Belajar menerima masukan bukan perkara mudah. Tapi di situlah letak kedewasaan. Semakin terbuka kita terhadap pandangan orang lain, semakin luas pula kesempatan kita untuk bertumbuh.

Dan siapa tahu, dari saran yang sederhana… perjalanan kita jadi lebih ringan, lebih jernih, dan lebih bermakna.