Kebahagiaan yang Tertukar
Kadang, manusia begitu gigih mengejar kebahagiaan—namun sayangnya, sering salah arah. Kita menyangka bahagia bisa dicicil: lewat mobil baru, motor keren, atau ponsel terbaru. Kita kejar simbol-simbol status itu, berharap dengan memilikinya, hati akan penuh dan hidup terasa lebih utuh. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Cicilan menumpuk, pikiran penuh beban, dan hidup malah terasa makin rumit. Kita bekerja lebih keras, bukan untuk hidup, tapi untuk membayar tagihan. Bahagia pun terasa makin jauh, seperti fatamorgana di tengah padang pasir. Padahal, kebahagiaan sejati tidak pernah serumit itu. Ia hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—rasa syukur. Syukur atas napas yang masih ada, atas tubuh yang sehat, atas keluarga, atas makanan yang cukup, dan atas kesempatan untuk terus hidup hari ini. Syukur tak perlu dicicil, tak butuh bunga bank, dan tak menambah beban hidup. Ia hanya butuh hati yang sadar dan mata yang jujur melihat betapa banyak hal sudah kita miliki. Mungkin, yang perl...