Ketika Diam Bukan Tanda Damai: Belajar Memahami Tanpa Menghakimi

Ada orang yang ketika mendengar amarah, tidak terburu-buru menanggapi. Ia memilih diam, memahami, lalu menenangkan. Bukan karena ia tidak merasa apa-apa, tetapi karena ia sudah terlalu sering melewati luka yang mengajarkannya untuk berhati-hati dalam berkata.

Orang seperti itu tahu, setiap manusia membawa beban yang berbeda. Tidak ada ukuran yang sama untuk menilai kesabaran, sebab setiap jiwa diuji di tempat yang paling rapuh dalam dirinya. Kadang, seseorang terlihat kuat di luar, padahal di dalam sedang berperang dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

Sayangnya, dunia sering terburu-buru memberi cap. “Kurang sabar,” “tidak bersyukur,” “terlalu sensitif.” Padahal, mungkin yang kita lihat hanyalah permukaannya saja. Tidak semua diam adalah tenang; ada diam yang sedang menahan amarah agar tidak menyakiti, ada pula diam yang berusaha mengerti ketika tak ada yang mau memahami.

Sampai pada akhirnya, kedewasaan bukan lagi tentang seberapa banyak kita berbicara, tapi seberapa dalam kita memahami tanpa harus menghakimi. Dan dari sanalah ketenangan sejati mulai tumbuh—bukan dari banyaknya kata, tetapi dari hati yang belajar untuk sabar, memahami, dan menyerahkan segalanya kepada Allah.

Komentar

Postingan Populer