Jalan Sunyi Intelektual di Negeri yang Bising
Di negeri yang ramai bicara tentang kekuasaan, orang-orang yang berpikir jernih sering kali memilih diam. Bukan karena takut, tapi karena sadar: kata-kata mereka tak selalu didengar oleh mereka yang telinganya tertutup ambisi.
Banyak orang bertanya, “Kenapa para intelektual tidak mau masuk politik atau pemerintahan?” Jawabannya tidak sesederhana karena jijik pada kekuasaan, tapi karena mereka paham — kekuasaan adalah ujian yang tak semua orang sanggup menanggungnya.
Di ruang pikiran, kebenaran berdiri tegak oleh logika dan nurani. Tapi di panggung politik, kebenaran sering kalah oleh tepuk tangan dan amplop. Di sana, bukan siapa yang benar yang didengar, tapi siapa yang lebih pandai berjanji. Dan bagi sebagian intelektual, itu seperti menjual hati demi sorak sorai.
Mereka lebih memilih jalan sunyi: menulis, mengajar, mendidik masyarakat agar sadar. Karena mereka percaya, bangsa tidak akan berubah lewat pidato politik, tapi lewat kesadaran rakyat yang tercerahkan. Mereka bekerja dalam senyap, menyalakan lilin di tengah gelap, satu demi satu.
Menjadi intelektual bukan berarti menutup diri dari politik, tetapi menjaga jarak agar nurani tak ikut terbeli. Ia tetap hadir di tengah masyarakat, mengkritik dengan data, berbicara dengan sopan, menjadi pengingat bahwa kekuasaan tanpa kejujuran hanyalah bayang-bayang kehancuran.
Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi sering kali kekurangan orang yang berani jujur di hadapan kekuasaan. Dan justru karena itulah, peran intelektual tetap penting — meski tanpa jabatan, meski tanpa panggung. Mereka adalah penjaga kesadaran, agar bangsa ini tidak kehilangan arah di tengah bisingnya ambisi.
Mereka tidak berteriak di podium, tapi menanam cahaya di hati manusia. Karena tahu, perubahan sejati tak dimulai dari istana, tapi dari kesadaran yang tumbuh di dada rakyat biasa.
Komentar
Posting Komentar