Laki-laki, Nafkah, dan Jalan Pulang
Ada hal sunyi yang tak banyak dibicarakan,
tentang anak laki-laki yang setelah menikah,
pelan-pelan kehilangan arah untuk pulang — bukan ke rumah, tapi ke hati orang tuanya.
Dulu, saat belum punya apa-apa, ia berkata: “Kalau sudah mapan, aku ingin bahagiakan ibu bapak…” Tapi setelah mapan, setelah rumah tangga dibangun, setelah gaji tetap dan anak-anak lahir satu per satu — janji itu terkubur dalam tumpukan tagihan dan ego.
Bukan tidak mampu, tapi seolah lupa bahwa ada wajah tua di kampung halaman yang tak butuh banyak, hanya ingin merasa tak dilupakan.
Satu persen dari penghasilan saja, kadang terasa berat. Bukan karena tidak cukup, tapi karena tidak dianggap penting.
Dan di sinilah letak ujian seorang istri.
Banyak perempuan mendambakan suami yang bertanggung jawab, tapi lupa bahwa salah satu bentuk tanggung jawab suami adalah tetap menunaikan baktinya kepada ibu dan ayahnya.
Istri yang baik bukan yang merasa cemburu pada mertua, bukan yang membatasi suami dalam memberi kepada orang tuanya, tapi yang justru mendorong, mengingatkan, dan merangkul: “Mas, jangan lupa ibu dan bapak... mereka butuh doa dan uluran tangan kita.”
Karena rumah tangga yang besar bukan hanya tentang luasnya bangunan, tapi tentang kelapangan hati untuk tetap menghormati orang tua, tanpa harus merasa kehilangan peran sebagai pasangan.
Ingat, orang tua tidak butuh dipenuhi hartanya, mereka hanya ingin tahu bahwa anak yang dulu mereka besarkan, tidak hilang arah setelah berumah tangga.
Mereka tidak minta dibalas, hanya ingin dikenang. Mereka tidak menuntut dihormati, hanya ingin dihargai. Karena mereka tahu, suatu hari nanti, kita semua akan menua dan menunggu —apakah anak-anak kita akan memperlakukan kita seperti kita memperlakukan mereka? Dan karma, selalu punya cara untuk berputar.
tentang anak laki-laki yang setelah menikah,
pelan-pelan kehilangan arah untuk pulang — bukan ke rumah, tapi ke hati orang tuanya.
Dulu, saat belum punya apa-apa, ia berkata: “Kalau sudah mapan, aku ingin bahagiakan ibu bapak…” Tapi setelah mapan, setelah rumah tangga dibangun, setelah gaji tetap dan anak-anak lahir satu per satu — janji itu terkubur dalam tumpukan tagihan dan ego.
Bukan tidak mampu, tapi seolah lupa bahwa ada wajah tua di kampung halaman yang tak butuh banyak, hanya ingin merasa tak dilupakan.
Satu persen dari penghasilan saja, kadang terasa berat. Bukan karena tidak cukup, tapi karena tidak dianggap penting.
Dan di sinilah letak ujian seorang istri.
Banyak perempuan mendambakan suami yang bertanggung jawab, tapi lupa bahwa salah satu bentuk tanggung jawab suami adalah tetap menunaikan baktinya kepada ibu dan ayahnya.
Istri yang baik bukan yang merasa cemburu pada mertua, bukan yang membatasi suami dalam memberi kepada orang tuanya, tapi yang justru mendorong, mengingatkan, dan merangkul: “Mas, jangan lupa ibu dan bapak... mereka butuh doa dan uluran tangan kita.”
Karena rumah tangga yang besar bukan hanya tentang luasnya bangunan, tapi tentang kelapangan hati untuk tetap menghormati orang tua, tanpa harus merasa kehilangan peran sebagai pasangan.
Ingat, orang tua tidak butuh dipenuhi hartanya, mereka hanya ingin tahu bahwa anak yang dulu mereka besarkan, tidak hilang arah setelah berumah tangga.
Mereka tidak minta dibalas, hanya ingin dikenang. Mereka tidak menuntut dihormati, hanya ingin dihargai. Karena mereka tahu, suatu hari nanti, kita semua akan menua dan menunggu —apakah anak-anak kita akan memperlakukan kita seperti kita memperlakukan mereka? Dan karma, selalu punya cara untuk berputar.
Komentar
Posting Komentar